Dorongan Hati

sustainablesuzy
Ultra Jaya
Teh Kotak
Campina

Drs. Wawan Husin
Tim Pemerhati Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup, Dosen Politeknik Bandung, Story Teller Eco Camp

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, salam sejahtera bagi semua umatnya, dan Om Swastiastu.

Saya mengenal P. Ferry mungkin baru 2 tahun. Melewati banyak proses baru kita saling mendengarkan dan ngobrol. Ketika sidang di UPI tentang gagasan dalam disertasinya tentang Eco Learning Camp. Saya kira itu amat penting bagi saya. Apa yang diterangkan itu bagi kami bagi orang Sunda itu “kila-kila” atau tanda-tanda alam, tanda-tanda semesta bahwa apa yang dia lakukan itu penting untuk dunia. Dunia itu lebih luas dari bumi, dunia itu dunia pikiran kita. Dunia itu begitu luas.

Ketika saya semakin terlibat di Tahura, bertemu dengan Bu Shierly dan anak-anak muda seperti Irene, Lukas, dan Tiara yang demikian antusias. Saya kira ini juga insprirasi bagi saya untuk ikutan dan melakukan sesuatu dengan apa yang mereka lakukan. Ini bukan dorongan otak, tapi lebih pada dorongan efektif, lebih pada dorongan hati. Bagaimana saya umur 61 tahun dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka? Yang cerita dasarnya adalah cerita tentang dunia, tentang masa depan.

Kemudian pertemuan dengan Sr. Elly selama 3 hari 2 malam dan teman-teman Eco Learning Camp membuka pikiran saya tentang dunia-dunia baru, dunia yang sedang kita inginkan bersama. Pertemuan dengan Sr. Elly saya jadi ingat akan karuhunSunda yang bercerita tentang lemah cai, kehijauan tanah air, kehijauan sawah, maka saya merasa nyambung banget.

Maka bukan lagi cerita nanti kita akan begini begitu, sebab yang terjadi adalah pilihan yang baru Thomas Berry dengan semua buku-bukunya menjadi pengalaman yang luar biasa, inspirasi yang menguatkan.

Terakhir dengan Sr. Amie, meski saya hanya mengikuti sebagian di awal dan di akhir, jadi menambah keyakinan bahwa jalan yang saya tempuh ini adalah jalan baru, visi baru tentang kosmologi, tentang planet bumi yang ada, tentang alam semesta, apa yang kita inginkan seratus tahun, dua ratus tahun, tiga ratus tahun ke depan. Bukankah kita selalu memiliki harapan ke depan? Semua itu bukan hanya untuk orang Indonesia, orang Nepal, orang India, namun untuk semua orang yang masih hidup yang masih bisa bernafas di muka bumi ini. Menurut saya hal itu seharusnya disadari semua orang. “Kila-kila-nya” atau tanda-tandanya itu sudah nampak dan berjalan.

Saya ingat cerita tentang Ksatria Shambala, tidak ada senjata, tidak ada seragam, tidak ada warna panji, artinya we are all included di dalam kancah pemahaman dunia baru, di dalam usaha menyadari apa itu bumi. Dan lalu bagaimana kita melewati waktu, di mana ada kesementaraan menuju kemaha-abadian. Sehingga semua orang yang terlibat, apapun profesinya, apapun posisinya dan kedudukannya, kita semua bisa berjalan berdampingan dan berpegangan tangan. Bukankah kita sesungguhnya dari ibu bumi yang sama? I love you allI bless you all.